Tak
lama setelah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pornografi di Indonesia
mulai tumbuh subur. Seiring dengan makin banyaknya media massa cetak yang hadir
kala itu, masyarakat disuguhi sajian-sajian pornografi, baik berupa tulisan
maupun foto. Suguhan-suguhan pornografi tersebut juga dipublikasikan melalui
buku-buku yang berisi tulisan-tulisan cabul dan gambar-gambar wanita telanjang.
Sebuah
Koran terbitan 3 Juni 1953 menyebutkan, “Buku-buku dan bacaan cabul berisikan
gambar-gambar perempuan Barat yang telanjang serta gambar-gambr cium-ciuman
dengan bebas dibolehkan masuk di tanah air kita dan di Surabaya banyak dijual
di Pasar Turi, Pasar Blauran, dan toko-toko buku lain yang terbuka untuk umum”.
Tahun
1950-an kasus-kasus pornografi yang terjadi cukup banyak. Misalnya, pada
tanggal 24 Pebruari 1954, sejumlah majalah dan buku yang mengandung konten
pornografi dikirim oleh Polisi Bagian Kesusilaan dan Jawatan Sosial kepada
Kejaksaan Agung RI untuk diadili.
Tahun
1960-an, kembali ditemukan sejumlah media yang mengekspose pornografi. Pada
tanggal 25 Oktober 1967 Pemerintah terpaksa memberengus sembilan penerbitan di
Jakarta dan Bandung karena alasan menyebarluaskan pornografi.
Kasus
penting dalam lintasan sejarah dunia pornografi di Indonesia yang patut dicatat
adalah ketika beredarnya kalender Happy New Year 1984 Sexino. Inilah kalender
pertama di Indonesia yang menampilkan gambar perempuan telanjang bulat tanpa
sehelai benang pun. Beredarnya kalender ini benar-benar membuat masyarakat
terkejut. Pemerintah pun segera bertindak cepat. Menteri Penerangan memberi
perintah untuk memberi tindakan tegas kepada media cetak dan elektronik yang
memuat, mempublikasikan, dan menyebarkan pornografi serta sadism.
Pornografi
melalui media film mulai berkembang sejak digunakannya teknik film berwarna di
Indonesia sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 1988 muncul dua film panas yang
menghebohkan masyarakat. Kedua film itu segera ditarik oleh BSF (Badan Sensor
Film) tapi setahun kemudian salah satu dari kedua film panas tersebut
diloloskan oleh BSF dengan judul baru.
Di
era reformasi, yang terjadi pada pertengahan tahun 1998, ketika katup kebebasan
pers dibuka, pornografi seperti menemukan kembali lahan empuk nan subur.
Pornografi tumbuh berkembang dan menyeruak semakin hebat. Ia menjadi komoditi
yang potensial sebagai mesin penyedot uang yang sangat dahsyat di tengah
masyarakat yang limbung karena didera berbagai krisis. Dari berbagai lini,
masyarakat diserbu berbagai produk pornografi, baik berupa media cetak maupun
VCD.
Pada
perkembangannya kemudian, pornografi marak beredar dalam bentuk yang lebih
canggih. Selain beredar melalui ponsel (handphone) satu ke ponsel lainnya,
pornografi juga marak di dunia maya (internet).
1 komentar:
thank you , ini bisa jadi bahan tambahan presentasi aku tentang pornografi
Posting Komentar